Didalam sistem perundang undangan dikenal istilah azas fiksi, namun pada kenyataanya masih jauh panggang dari api, yang menjadi faktor penghambat antara lain kualitas sumber daya manusia. Salah satu contoh pada tanggal 28 November 2002 telah disyahkan UU nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, ternyata sampai bulan juni 2005 pelaksanaan UU tersebut masih terseok-seok mencari bentuk format untuk mengimplementasikannya.
Akibat dari lambannya pelaksanaan UU nomor 32 tahun 2002 dimanfaatkan oleh masyarakat penyiaran untuk membuat pemancar gelap, sehingga dalam penertibannya sangat menemui kesulitan, disamping itu kadang hal-hal yang khusus tidak diatur khusus, sebagai salah satu contoh RSPD yang berdiri jauh sebelum radio swasta dipersepsikan sebagai radio gelap tanpa izin.
Keberadaan RSPD jadi blunder, karena disatu pihak izinnya harus bernaung dibawah badan usaha yang sudah berbadan hukum, bahkan proses izinnya disamakan dengan radio yang berdiri beberapa bulan, dengan sistem penyiarannya pun masih trial and eror sedangkan RSPD dimanapun pasti sebagai radio perintis, tapi dianggap rival oleh radio swasta ( mengapa demikian? ), sehingga keberadaan RSPD hidup enggan mati tak mau, bagai kerakap diatas batu.
Keberadaan RSPD dikritisi oleh seluruh radio yang ada didaerahnya, bahkan DPRD pun sebagai legislator mengkritisi keberadaan RSPD, tapi dilain pihak kinerja RSPD dituntut untuk optimal, sedangkan untuk optimalnya kinerja itu tergantung pada input yang diberikan, terutama yang berkaitan dengan P3D. Bila RSPD dibatasi oleh serba ketidak bolehan seperti halnya tidak boleh menerima iklan, tidak boleh ada TKS, tidak boleh menerima Tip khusus, biaya operasional tidak diberi secara layak. Maka tunggu titik jenuh dari korps RSPD itu sendiiri. Kalau diibaratkan tubuh orang, kepalanya harus besar, tapi badannya tidak boleh makan yang enak, kakinya kecil seperti mengidap penyakit polio. Apa jadinya?
Pengelola RSPD terbelenggu untuk mengembangkan kreativitas,