Minggu, 21 Agustus 2011

Tahukah Anda Tentang RSPD

Didalam sistem perundang undangan dikenal istilah azas fiksi, namun pada kenyataanya masih jauh panggang dari api, yang  menjadi faktor penghambat antara lain kualitas sumber daya manusia. Salah satu contoh pada tanggal 28 November 2002 telah disyahkan UU nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran, ternyata sampai bulan juni 2005 pelaksanaan UU tersebut masih terseok-seok mencari bentuk format untuk mengimplementasikannya.


Akibat dari lambannya pelaksanaan UU nomor 32 tahun 2002 dimanfaatkan oleh masyarakat penyiaran untuk membuat pemancar gelap, sehingga dalam penertibannya sangat menemui kesulitan, disamping itu kadang hal-hal yang khusus tidak diatur khusus, sebagai salah satu contoh RSPD yang berdiri jauh sebelum radio swasta dipersepsikan sebagai radio gelap tanpa izin.

Keberadaan RSPD jadi blunder, karena disatu pihak izinnya harus bernaung dibawah badan usaha yang sudah berbadan hukum, bahkan proses izinnya disamakan dengan radio yang berdiri beberapa bulan, dengan sistem penyiarannya pun masih trial and eror sedangkan RSPD dimanapun pasti sebagai radio perintis, tapi dianggap rival oleh radio swasta ( mengapa demikian? ), sehingga keberadaan RSPD hidup enggan mati tak mau, bagai kerakap diatas batu.

Keberadaan RSPD dikritisi oleh seluruh radio yang ada didaerahnya, bahkan DPRD pun sebagai legislator mengkritisi keberadaan RSPD, tapi dilain pihak kinerja RSPD dituntut untuk optimal, sedangkan untuk optimalnya kinerja itu tergantung pada input yang diberikan, terutama yang berkaitan dengan P3D. Bila RSPD dibatasi oleh serba ketidak bolehan seperti halnya tidak boleh menerima iklan, tidak boleh ada TKS, tidak boleh menerima Tip khusus, biaya operasional tidak diberi secara layak. Maka tunggu titik jenuh dari korps RSPD itu sendiiri. Kalau diibaratkan tubuh orang, kepalanya harus besar, tapi badannya tidak boleh makan yang enak, kakinya kecil seperti mengidap penyakit polio. Apa jadinya?

Pengelola RSPD terbelenggu untuk mengembangkan kreativitas,
karena selalu dihantui dengan ketakutan dipersalahkan oleh seluruh pihak, baik secara eksternal maupun internal, sering muncul pertanyaan baik dalam heiring maupun talk show mempertanyakan kinerja RSPD, seperti halnya dana penerimaan dari iklan, kualitas pemberitaan, lagu terbaru yang diperdengarkan,berapa kesejahteraan yang diberikan kepada crew. Tanpa melihat analisis murni secara keilmuan yang utuh. Seperti melihat dari segi input, proses dan output yang diharapkan. Lantas siapa yang akan memperjuangkan nasib RSPD, siapa yang memperhatikan, siapa yang membela RSPD jika berhubungan dengan masalah hukum.

Bahkan disaat RSPD Kota Sukabumi mempunyai kreativitas untuk menyajikan siaran khusus gado-gado saur membuat proposal dan meminta partisipasi untuk makan disaat buka dan sahur crew serta untuk peningkatan kualitas siaran, malah timbul saran “ ah anu kitu-kitu wae mah tangani aja oleh kepala unit kerja”, anehnya yang memberi saran tahu persis bahwa di DASK tidak tercantum dana operasioanl untuk RSPD.

Sampai saat ini banyak orang yang meminta bantuan RSPD untuk mempublikasikan programnya, seperti pengumuman festival, pengumuman penyitaan, pengumuman penerimaan murid baru, pengumuman tablig akbar, pengumuman lelang bahkan banyak selebaran dari ormas ataupun LSM yang meminta untuk diumumkan atau disiarkan di RSPD, kebanyakan semuanya memberikan” kulub nuhun” dengan alasan, kan RSPD punya pemerintah, pegawainya sudah digaji dan banyak alasan lain yang diungkapkan untuk melegitimasi tidak memberi imbalan dana ke RSPD. Yang diberikan ke RSPD kebanyakannya hanya mengkritisi bukannya mendorong untuk RSPD berkembang.

Sedangkan didalam UU nomor 32 tahun 2002 bila dicermati secara baik sudah mengambil prinsip-prinsip dasar dari perkembangan paradigma baru, seperti halnya prinsip demokratisasi, prinsip transparansi prinsip akuntabilitas, prinsip partisipasi. Yang dikemas dalam 12 bab secara rinci diurai kedalam 64 pasal dan 154 ayat. Namun tidak mengatur secara khusus untuk persyaratan izin RSPD yang berdiri sejak lama sekitar tahun 60 an. Siapa yang salah? UU itu atau orang-orang yang menafsirkan UU penyiaran itu yang salah?

Filosofi yang menjiwai seluruh pasal-pasal secara eksplisit dinyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan penyiaran adalah untuk memperkokoh kesatuan Nasional, terbinanya watak dan jatidiri bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Jadi bukan titik berat pada bisnis! Mengapa izin RSPD dipersyaratkan sama dengan radio swasta bernaung dibawah badan usaha yang berbadan hukum? Jadi pengelola RSPD kadang merasa aneh mengapa sering ada pertanyaan berapa PAD yang bisa disumbangkan dari RSPD! Sementara sementara tugas sehariannya untuk publikasi dan public relation Pemerintah Daerah, bukan untuk bisnis.

Sebagai warga negara yang baik harus memahami bahwa pasal 6 UU nomor 32 tahun 2002 menyatakan bahwa penyiaran diselenggarakan dalam suatu sistem penyiaran nasional yang terdiri dari beberapa lembaga penyiaran yang memancar dengan sistem penyiaran lokal dan sistem penyiaran berjaringan.

Memang benar bahwa kegiatan penyiaran adalah kegiatan yang bersifat publik maka peran serta masyarakat harus dilibatkan, tapi apakah akan optimal jika KPI yang hanya beranggotakan 7 orang dipusat dan 7 orang di setiap provinsi akan mampu mengendalikan penyiaran dengan utuh seperti yang diamanatkan dalam UU nomor 32 tahun 2002 yang di dalamnya meliputi penyiaran TV dan radio dengan katagori Lembaga penyiaran publik (LPP) Lembaga penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) sesuai dengan yang dimuat dalam pasal 13 s.d 29.

Kalaulah RSPD ditafsirkan sebagai lembaga penyiaran publik lokal yang didirikan oleh pemerintah daerah, maka secara ekplisit sumber pembiayaannya bisa berasal dari iuran, pemerintah, masyarakat, iklan dan kegiatan usaha lainnya seperti yang tercantum dalam pasal 15. jadi apabila pemaknaan UU nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran secara cermat, bahwa RSPD jangan disamakan persyaratan izinnya dengan LPS, LPK atau LPB, artinya harus diatur khusus yang mengacu pada UU penyiaran. 

Dengan berlama-lamanya pemberlakukan UU nomor 32 tahun 2002 untuk diimplementasikan, maka sampai saat ini daya jangkau statsiun penyiaran sudah tidak mengiindahkan pasal 6 dan pasal 31, padahal didalam pasal 32 telah diatur tentang persyaratan dan standar teknik yang harus dipenuhi setiap lembaga penyiaran disaat mengajukan perijinan ataupun didalam beroperasi.

Ijin penyiaran dikeluarkan oleh KPI yang berlaku untuk 5 tahun seperti diatur di dalam pasal 33 dan pasal 34. ternyata dimasa transisi ini telah menjamur radio penyiaran tanpa izin, tetapi pejabat publik pun sering melakukan siaran di radio penyiaran yang belum berizin, padahal dalam pelaksanaan penyiaran berlaku tentang isi siaran, bahasa siaran, relai dan siaran bersama, kegiatan jurnalistik, hak siar, ralat siaran, arsip siaran, siaran iklan dan sensor isi siaran seperti diatur dalam pasal 36.

Apakah wartawan penyiaran dari RSPD mendapat pengakuan yang sama dengan wartawan penyiaran lain? Pada kenyataannya pengakuan pejabat publik terhadap wartawan penyiaran RSPD kurang memberikan penghargaan yang sama dibandingkan dengan cara mereka memberikan penghargaan kepada wartawan penyiaran swasta. Padahal wartawan penyiaran RSPD dibekali dengan kode etik jurnalistik.

Dalam kondisi kepakuman, maka KPID Jawa Barat setelah terbentuk, berusaha mensosialisasikan UU nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran pada tanggal 9 Juni 2002 di Kota Bogor. Saat itu dijelaskan oleh Hj. Dra Eti Rahmawati bahwa dalam uji publik proses pengurusan izin operasional penyiaran diantaranya yang diperiksa itu adalah Hardware meliputi izin frekwensi, peralatan pemancar. Sedangkan software meliputi program penyiaran, manajemen dan bisnis. ( program,SDM dan alat.). Menurut rencana kegiatan uji publik bagi pemancar rario akan dilaksanakan 4 hari dari tanggal 18 Juli s.d 21 Juli 2005
(Sumber di sadur dari Catatan : Mantan Kepala Kantor Infokom Kota Sukabumi sekarang Kepala BPMPKB Kota Sukabumi/  Drs. H. A. Hamdan, MM )

Tidak ada komentar: